Cita dan Cinta
“Selamat pagi,” sapaku. “Iya, pagi juga,” balasnya dengan senyum yang
begitu manis. Melihatnya setiap pagi membuat hatiku selalu berdegup dan
kehabisan kata-kata. Lucu memang setiap pagi hanya kata itu yang bisa ku
katakan. Oh Ceza, betapa ku mengagumimu. Selain baik, seragam yang kau kenakan
sangat cocok dengan sepatu hitam yang kamu pakai. Suaramu yang lembut
menggetarkan hatiku. Wajahmu yang bersih dibalut kerudung coklat melengkapi
indahnya pagi ini. Ya tuhan, inikah yang namanya cinta? Jantungku berhenti
berdetak saat ku dengar namanya. Meski aku berasal dari keluarga yang kurang
berada. Sedangkan kamu tinggal di rumah layaknya istana. Aku ingin kamu tahu,
aku mencintaimu.
Tiba-tiba Indah datang memecah lamunanku. “Hai Ren, kok nglamun gitu
sih?” Sambil menepuk pundakku. “Kamu Ndah, ngagetin aja. Enggak kok, cuma lagi
lihat pemandangan taman sekolah kita.”
“Masa sih, lagi mikirin Ceza ya? Iya kan?”
“Ah kamu, apaan sih. Yuk mending ke kelas aja.”
“Iya, ayo!”
Indah adalah teman sekelasku, kami sudah berteman sejak pertama masuk. Saat
pendaftaran, kami duduk sebangku saat mengerjakan tes penerimaan peserta didik
baru. Aneh memang, kami yang belum saling kenal bekerjasama mengerjakan
soal-soal yang terbilang sulit waktu itu.
Aku bercita-cita ingin
menjadi seorang presiden layaknya Pak Jokowi yang berasal dari keluarga tukang
kayu. Meski ku sedang jatuh cinta, aku tak berpikiran untuk pacaran. Pokoknya
masa depan adalah nomor satu. Pulang sekolah aku bertemu dengan Ceza di termpat
parkir. Ku lihat dia kesulitan mengeluarkan sepedanya karena diparkir paling
depan. “Sini Cez kubantu.” “Ga usah Ren, ntar ngrepotin kamu lagi.”
“Udah nggakpapa,” sambil ku
keluarkan sepedanya dari tempat parkir.
“Terima kasih ya Ren, maaf jadi ngrepotin kamu. Kamu baik deh.”
“Hehe, enggak biasa aja kok, sesama
teman kan dah kewajiban saling bantu.”
“Besok Minggu kamu ada acara nggak?”
Aku sangat terkejut mendengar ajakannya tersebut, tidak biasanya dia
mengajakku. Namun, tidak akan ku sia-siakan kesempatan ini “Emm... Kemana?
Pergi? Berdua saja?” Melihat senyumnya yang manis aku terbata-bata menjawab.
“Ke kota, biasalah car free day. Iya, itu kalau kamu mau sih. Kalau nggak
mau ya nggakpapa.” “Eh, mau. Mau kok.”
“Oke deh. Besok pagi kita bertemu di depan sekolah ya,” sambil menaiki
sepedanya.
“Iya Cez, pukul berapa ya?”
“Pukul 06.30 aja, gimana?”
“Siap komandan!”
“Haha, ah kamu ini. Yaudah ya, bye. Ingat besok pagi, jangan lupa!” Dia mengayuh
sepedanya dan pergi pulang.
Sore itu aku sangat
senang. Dengan senyum dan rasa gembira ku bergegas pulang mengayuh sepedaku.
Tapi senyum itu tidak bertahan lama, malam hari Pak Widaya datang ke rumahku.
Ia mengabarkan bahwa permintaan beasiswa yang kukirimkan ke suatu lembaga
pendidikan diterima. Iya, itu memang terdengar seperti kabar baik. Awalnya aku
bahagia mendengarnya. Betapa tidak, siang tadi gadis yang aku sukai mengajak
bersepeda bersama. Eh, malamnya dapat kabar beasiswa. Kabar buruknya adalah
lembaga penerimaan beasiswa tersebut mengundangku untuk membuka rekening di
salah satu bank di kota. Aku harus datang jika ingin mencairkan beasiswanya,
jika tidak datang sia-sia sudah. Masalahnya waktu undangan tersebut adalah
besok pagi, bersamaan dengan janjiku dengan Ceza. Mati aku, besok aku harus
bicara apa ke Ceza. Ku tarik napas dan mencoba menenangkan pikiran sejenak.
Setelah kupikir-pikir mungkin ku harus memilih beasiswa untuk masa depanku,
soal Ceza besok aku akan meminta maaf. Tentu gadis sebaik dia pasti
memaafkanku, aku yakin dia pasti mengerti.
Pagi harinya seperti biasa
aku bagun pukul 04.00 kemudian melakukan rutinitas seperti biasanya. Sekitar
pukul 06.00 aku segera menuju sekolah karena sudah berjanji akan menemui Ceza
disana. Smpai di depan sekolah kulihat gembok masih mengunci pintu pagar. Wajar
saja, ini kan hari Minggu, pikirku. Tak berapa lama Ceza datang dengan senyum
secerah pagi ini. Berat hati rasanya untuk mengatakan bahwa aku tidak bisa
menemaninya car free day hari ini.
Tapi bagimanapun juga ku coba tuk mengatakannya meski kaku lidah ini. Dia
nampak senang dan menghampiriku. “Pagi Rendy, udah nunggu lama ya?” Aku terdiam
sejenak memikirkan kata apa yang pantas ku katakan padanya. “Iya pagi juga. Ah enggak juga Cez. Kamu
cantik banget deh hari ini.” Kulihat dia tertawa sambil tersipu malu.
“Cez, aku mau ngomong sesuatu nih. Tapi aku takut kamu marah kalau aku
bilang.”
“Mau bilang apa? Udah gakpapa, aku gak akan marah kok.”
“Beneran loh Cez? Sebenarnya, em. Aku ada acara pagi ini. Aku harus ke bank
untuk membuka rekening beasiswa.” Kulihat dia terdiam sejenak dan tertunduk.
Seperti memendam rasa kecewa, dia tetap tersenyum dan berkata, “Beasiswa ya?
Selamat ya, cie.. kamu pinter sih. Yasudah gakpapa yang penting beasiswanya
dulu. Car free day bisa ditunda minggu depan, nanti berangkat dengan siapa?”
“Dengan Pak Widaya, aku minta maf banget ya Cez. Aku gak maksud buat ngecewain
kamu,”
ku memohon dengan berlutut dihadapannya. “Rendy, ngapain sih?! Udah
gakpapa, ayo berdiri!”
Dia memegang bahuku dan membantuku berdiri. Dia
tersenyum kemudian pamit untuk pulang, karena dia tidak berani ke kota kalau
hanya sendirian. “Yasudah Rend, aku gak marah sama kamu kok, gakpapa. Aku
pulang dulu ya, kamu tetep semangat buat raih cita-cita kamu.”
“Iya Cez, sekali lagi maaf.” Kemudian tanpa kata dia hanya tersenyum
kemudian bersepeda pulang. Aku pun bergegas pulang dan menunggu Pak Widaya
mengantarku ke bank. Sesampainya di rumah, aku menunggu di depan teras rumahku.
Tak berapa lama Pak Widaya datang mengendarai sepeda motornya yang butut.
“Assalamu’alaikum,” sapanya. Aku bergegas menjawab salamnya dan meminta izin
kepada ibuku untuk pergi. “Hati-hati, Nak!” Itu kata terakhir yang kudengar dan
aku segera naik ke motor Pak Widaya, segera kami berangkat.
Waktu begitu cepat, sepulang dari bank aku berterimaksaih ke Pak Widaya dan
segera memasukki rumah. Alangkah terkejutnya diriku saat memasuki rumah.
Kulihat sudah pukul 11.00 tepat. Namun, rumah tampak sepi tidak sepeti
biasanya. “Assalamu’alaikum.” Tak ada yang menjawab, aku tinggal bersama ibuku
saja. Lalu kemana ibuku pergi, pikirku yang sudah mulai kacau. Tetap berusaha
ku tenangkan diriku dan kuperiksa kamar ibuku. Syukurlah dalam benakku, beliau
yang membesarkan dan selalu mengasihiku sedang lelap dalam tidurnya. Tak sampai
hati untukku membangunkannya.
Sampailah adzan dzuhur dan kulihat
beliau masih lelap tertidur. Timbul dalam benakku, tapi, ah sudahlahlah aku tak
mau berpikir hal yang aneh-aneh.
Kuputuskan untuk ke masjid tanpa
membangunkannya. Saat salat hatiku tak tenang, entah apa yang terjadi. Setelah
salam aku bergegas pulang ke rumah. Kutemui ibuku dan kucoba membangunkannya.
“Ibu, bangun ibu, sudah saatnya salat dzuhur,” terus ku ucapkan itu sambil
berusaha membangunkannya. Terus kuulangi, tetap kucoba dan kucoba. Tak tahan
rasanya tanpa sadar air mataku menetes. Oh tuhan, apa yang terjadi dengan
ibuku? Tolong jawab aku tuhan. Tangisku tak tertahan lagi, kini deras sudah air
mataku. Menetes membasahi baju malaikat pelindungku, ku tak kuasa. Benarkah ini
terjadi? Apakah ini hanya mimpi buruk, atau apa? Kupeluk dia yang terpejam
dengan senyum kecil yang masih bisa kulihat. Oh ibu, andai kau masih disini,
ingin ku ucapkan aku sayang kamu ibu. Maafkan segala salahku yang sering
membantahmu. Maafkan aku yang masih nakal, dan enggan menurutimu. Ibu jangan
pergi, aku masih ingim membahagiakanmu. Aku ingin engkau melihatku saat aku
sukses nanti. Ku ingin buatmu bangga. Semoga sang pencipta mencintaiku lebih
dari engkau mencintai aku.
Ibu, aku berjanji akan tetap tegar menjalani hidup ini. Dalam suka duka
dunia yang sementara. Akan ku kejar cita-citaku yang muia. Meski sekarang
engkau jauh di alam sana, aku tahu doamu selalu menyertaiku.
Pengarang: Duwie Kresno Wibowo